Abstrak
Telah diketahui bahwa mie merupakan bentuk pangan yang sudah populer di Indonesia. Pangan mie ini asalnya dari China. Di Indonesia banyak dijumpai pangan berbentuk mie. Tingkat teknologinya bervariasi dari yang sederhana sampai yang canggih. Demikian
pula tingkat industrinya mulai dari industri kecil sampai industri
besar. Bahan baku untuk pembuatan pangan berbentuk mie ini bervariasi,
dari mulai beras, gandum, aren, sagu dan bahkan tapioka. Secara
laboratorium bahan baku untuk pembuatan mie dapat dilakukan tanpa harus
menggunakan terigu, dimana secara skala laboratorium dapat berjalan
dengan baik. Namun bagaimna penerapan di skala industri. Makalah ini
mecoba membahas pengembangan industri pangan bentuk mie dengan bahan
baku berasal dari gandum maupun non gandum.
Mie
merupakan jenis makanan yang diperkirakan berasal dari daratan Cina.
Hal ini dapat dilihat dari budaya bangsa Cina, yang selalu menyajikan
mie pada perayaan ulang tahun sebagai simbol untuk umur yang panjang
(Juliano dan Hicks, 1990). Dalam perkembangannya, mie merupakan produk
yang sangat dikenal di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, mie bahkan
telah menjadi pangan alternatif utama setelah nasi.
Beragam jenis mie telah dikenal masyarakat, namun mie instan merupakan ragam mie
yang paling popular. Dataconsult (1995) melaporkan bahwa konsumsi mie
instan oleh masyarakat Indonesia pada tahun 1995 sebesar 3.544,5 juta
bungkus atau setara dengan 265.838 ton. Pada tahun-tahun berikutnya
konsumsi mie instan meningkat dengan laju sekitar 25%, dan pada awal
tahun 2000-an sekarang ini, angka ini diperkirakan terus meningkat
dengan laju sekitar 15% per tahun. Impor gandum Indonesia tahun 2002 mencapai 4 juta ton dan angka ini akan terus meningkat (World Grain 2003) Sebagian besar bahan gandum tadi dibuat tepung terigu dan digunakan sebagai bahan baku pembuatan mie.
Perkembangan
konsumsi mie pesat memberi pelajaran bahwa mie merupakan jenis makanan
yang sesuai dengan kebutuhan atau preferensi konsumen Indonesia. Namun
di sisi lain, konsumsi mie seperti saat ini berpeluang menurunkan devisa
negara, mengingat mie merupakan produk yang dibuat dari tepung terigu,
suatu komoditas impor. Sementara itu, pembangunan pertanian nasional
telah mampu menghasilkan beragam komoditas sumber karbohidrat yang perlu
ditingkatkan pemanfaatannya, terutama dalam rangka penyediaan pangan
alternatif bagi masyarakat. Oleh sebab itu, pemikiran yang paling sering
muncul adalah perlunya pengembangan teknologi mie berbahan baku tepung
selain terigu, misalnya dengan memanfaatkan tepung beras, sorgum,
kasava, sagu dan sebagainya.
Teknologi
seperti dimaksud di atas sebenarnya telah tersedia, namun belum
sepenuhnya dapat diterapkan mengingat kelengkapan produksinya, seperti
alat proses produksi, ketersediaan bahan baku secara kontinyu baik
kwantitas dan kalitas belum terpenuhi. Konsistensi produk (dalam arti
mutu dan penampilannya) dalam uji coba skala semi komersial juga belum
terjamin. Beberapa teknologi bahkan dihasilkan melalui proses yang belum
didukung dengan perancangan yang memadai. Makalah ini membahas
perkembangan teknologi pengolahan mie berbahan baku non-terigu dan
peluang penerapannya dalam produksi mie di Indonesia.
Jenis Dan Pembuatan Mie
Aneka
jenis mie dapat ditemukan di pasar. Keragamannya yang luas seringkali
membuat konsumen mempertanyakan spesifikasi dari setiap produk yang
bersangkutan. Dalam kegiatan sehari-hari telah dikenal berbagai sebutan
untuk mie dan produk sejenis mie, misalnya mie instan, mie telur, mie
basah, bihun, sohun dan sebagainya. Secara sederhana,
beragam jenis mie ini dapat dikelompokkan berdasarkan bahan baku yang
digunakannya. Namun demikian, setiap mie memiliki perbedaan dalam proses
produksinya. Uraian berikut menjelaskan teknik pembuatan berbagai jenis
mie tersebut, sehingga dapat diketahui persamaan maupun perbedaannya.
1. Mie Berbahan Baku Terigu
Berbagai
jenis mie yang menggunakan terigu sebagai bahan baku telah dikenal
masyarakat. Selain mie instan, jenis mie yang dikenal cukup luas adalah
mie segar (mie mentah), mie basah, mie kering, dan mie telur. Meskipun
tampak beragam, tahap awal pembuatan mie ini serupa, yakni melalui tahap
pengadukan, pencetakan lembaran (sheeting), dan pemotongan (cutting). Tergantung pada komposisi bahan (ingredient),
tingkat atau cara pemasakan lanjutan dan tingkat pengeringannya, maka
suatu mie dapat dimasukkan dalam kelompok mie tertentu.
a. Mie Segar
Mie
Segar sering juga disebut mie mentah. Jenis ini biasanya tidak
mengalami proses tambahan setelah benang mie dipotong (Hoseney, 1994).
Mie segar umumnya memiliki kadar air sekitar 35%, yang oleh karenanya
mie ini bersifat lebih mudah rusak. Namun jika penyimpannya dilakukan
dalam refrigerator, mie segar dapat bertahan hingga 50-60
jam dan menjadi gelap warnanya bila melebihi waktu simpan tersebut. Agar
diterima konsumen dengan baik, mie segar harus berwarna putih atau
kuning muda. Mie ini biasanya dibuat dari terigu jenis keras (hard wheat), agar dapat ditangani dengan mudah dalam keadaan basah.
b. Mie Basah
Mie
Basah adalah jenis mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap
pemotongan. Biasanya mie basah dipasarkan dalam keadaan segar. Kadar air
mie basah dapat mencapai 52% dan karenanya daya simpannya relatif
singkat (40 jam pada suhu kamar). Proses perebusan dapat menyebabkan
enzim polifenol-oksidase terdenaturasi, sehingga mie basah tidak
mengalami perubahan warna selama distribusi. Di Cina, mie basah biasa
dibuat dari terigu jenis lunak dan ditambahkan Kan-sui.
Yang dimaksud kan-sui adalah larutan alkali yang tersusun oleh garam
natrium dan kalium karbonat. Larutan ini digunakan untuk menggantikan
fungsi natrium klorida dalam formula. Garam karbonat ini membuat adonan
bersifat alkali yang menghasilkan mie yang kuat dengan warna kuning yang
cerah. Warna tersebut muncul akibat adanya pigmen flavonoid yang
berwarna kuning pada keadaan alkali (Hoseney, 1994).
c. Mie Kering
Produk
ini tidak mengalami proses pemasakan lanjut ketika benang mie telah
dipotong, tetapi merupakan mie segar yang langsung dikeringkan hingga
kadar airnya mencapai 8-10% Pengeringannya biasanya dilakukan melalui
penjemuran. Karena bersifat kering, daya simpannya juga relatif panjang
dan mudah penanganannya.
d. Mie Telur
Mie
Telur umumnya terdapat dalam keadaan kering ketika dipasarkan. Namun
demikian tidak tertutup kemungkinan memasarkan mie telur dalam keadaan
basah. Faktor komposisi bahan adalah faktor yang membedakan mie telur
ini dengan mie kering maupun mie basah. Dalam pembuatan mie telur
biasanya ditambahkan telur segar atau tepung telur pada saat pembuatan
adonan. Penambahan telur ini merupakan suatu variasi dalam pembuatan mie
di Asia, sebab secara tradisional mie oriental tidak mengandung telur.
Sebaliknya di Amerika Serikat, penambahan telur merupakan suatu
keharusan. Sebagai contoh, mie kering harus mengandung air kurang dari
13% dan padatan telur lebih dari 5,5% (Hoseney, 1994)
e. Mie Instan
Mie instan seringkali disebut juga sebagai ramen atau ramyeon di
luar negeri. Mie ini dibuat dengan menambahkan beberapa proses setelah
mie segar diperoleh pada akhir tahap pemotongan. Tahap-tahap tambahan
tersebut adalah pengukusan, pembentukan (forming, per porsi), dan
pengeringan. Mie instan dengan kadar air 5-8% biasanya dikemas bersama
dengan bumbunya. Dalam keadaan seperti ini, mie instan memiliki daya
simpan yang lama.
Berdasarkan
proses pengeringannya, dikenal dua macam mie instan. Pengeringan yang
dilakukan dengan cara menggoreng menghasilkan mie instan goreng (instant fried noodle). Sedangkan bila dikeringkan dengan udara panas akan diperoleh mie instan kering (instant dried noodle).
Dalam
Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 3551-1994, mie instan
didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari terigu
dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan
makanan yang diijinkan, berbentuk khas mie dan siap dihidangkan setelah
dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pembuatan mie instan, yang salah satu diantaranya
adalah porositas mie.
Porositas
mie sangat berhubungan dengan waktu rehidrasi. Faktor ini juga sangat
terkait dengan ketebalan mie. Karena itu, proses sheeting merupakan
tahap yang cukup menentukan, selain faktor-faktor seperti sifat bahan
baku, tahap pengukusan dan penggorengan. Untuk mendapatkan porositas,
konsistensi, dan elastisitas yang tinggi, ke dalam formula juga dapat
ditambahkan bahan penunjang seperti monogliserida, lesitin, natrium
karbonat dan sebagainya (Papotto dan Zorn, 1986). Pada produk mie instan
komersial sering digunakan pula kalium karbonat, natrium polifosfat,
karboksimetil selulosa (CMC) dan kadang-kadang guar gum.
Nishita et al. (1976) menyebut CMC sebagai bahan pengganti gluten (gluten substitute).
Hal ini didasarkan pada peranan penting senyawa tersebut dalam
keberhasilan pengembangan roti dari tepung beras. Dalam teknologi roti
beras ini, CMC digunakan sebanyak 3% (Bean dan Nishita, 1985).
Hoseney
(1994) menyebutkan bahwa untuk mendapatkan penerimaan konsumen yang
baik, mie instan harus bebas dari ketengikan. Bila mie instan direbus
sebaiknya tidak ada minyak yang terlepas ke dalam air perebusan. Setelah
direbus, mie harus masih cukup kompak dan permukaannya tidak lengket.
Menyangkut
aspek warna, Hoseney (1994) menyatakan bahwa konsumen umumnya menyukai
warna putih. Namun demikian hampir seluruh mie instan komersial di
Indonesia berwarna kuning. Untuk membentuk warna kuning, dalam pembuatan
adonan dapat digunakan larutan Brine (Baik et al., 1994). Larutan Brine
merupakan larutan dengan komposisi 5,18% natrium klorida; 0,26% natrium
karboonat, dan 0,26% kalium karbonat. Larutan ini bersifat alkali, dan
oleh karenanya memicu pigmen flavonoid untuk muncul berwarna kuning.
Dari
segi rasa, mie instan memiliki keunggulan dibandingkan jenis mie yang
lain. Hal ini mungkin disebabkan oleh kemampuannya dalam menyerap minyak
hingga 20% selama pengorengan. Selain aspek kepraktisannya, faktor rasa
juga berpengaruh pada terjadinya perubahan peran mie instan dalam menu
makanan di Indonesia dari sejenis makanan kecil menjadi makanan
alternatif pengganti nasi.
2. Mie Berbahan Baku Non-Terigu
Ada
beberapa jenis mie berbahan baku bukan terigu yang dikenal luas oleh
konsumen mie Indonesia. Jenis mie tersebut adalah Bihun, Kwe tiau, dan
Sohun. Berikut disampaikan informasi yang lebih rinci dari produk-produk
tersebut.
a. Bihun
Bihun
merupakan jenis mie dari beras yang paling banyak dikenal. Produk ini
biasa dibuat dari beras atau menir yang sifat nasinya pera atau kadar
amilosanya mencapai 27% atau lebih. Pada prinsipnya bihun dibuat dengan
cara merendam beras di dalam air, kemudian digiling secara basah hingga
diperoleh bubur beras mentah. Air yang ada dipisahkan melalui proses
pengendapan atau pengepresan. Padatan yang diperoleh kemudian dikukus
atau dimasukkan ke dalam air panas hingga mengapung, dilanjutkan dengan
pengadukan ulang. Setelah bagian yang tergelatinisasi tersebar merata,
maka adonan dimasukkan dalam extruder sederhana yang dilengkapi die
(lubang-lubang kecil) di ujungnya. Benang-benang adonan yang keluar
kemudian dikukus 30-45 menit, didinginkan dan dijemur hingga kering
(Winarno, 1986; Juliano dan Hicks, 1990).
Produk mie yang dibuat dari beras dan melibatkan proses ekstrusi seperti di atas disebut Senlek di Thailand. Di beberapa tempat lain, bihun dikenal dengan sebutan bihon, bijon, bifun, mehon, vermicelli dan lain-lain (Juliano dan Hicks,1990).
b. Kwe Tiau
Kwe
Tiau juga dibuat dari tepung beras, tetapi ada yang dicampur dengan
terigu. Beberapa pustaka menyebut kwe tiau dari campuran tepung beras
dan tepung terigu sebagai Mie Cina atau Chinese Mein (Winarno, 1986; Juliano dan Hicks, 1990) dan Rice Flat Noodle untuk produk yang dibuat dari tepung beras saja (Juliano dan Hicks, 1990).
Untuk
membuat mie Cina, tepung beras dicampur dengan tepung terigu dengan
perbandingan tertentu. Tepung tersebut kemudian ditambah air dan
dibentuk menjadi adonan yang cukup liat. Adonan kemudian digilas pada sheeting roller beberapa kali hingga membentuk lembaran tipis dan halus, dan dimasukkan ke dalam cutting roller untuk membagi lembaran dalam beberapa pita, serta dipotong pada dimensi panjang yang dikehendaki (Winarno, 1986).
Untuk membuat Rice Flat Noodle
(Kwe tiau beras murni) biasanya diawali dengan penggilingan basah
terhadap beras sehingga diperoleh bubur beras mentah. Bubur dengan
konsistensi yang benar (42% basis berat) dimasukkan dalam alat pembuat
mie hingga separuh drumnya terendam. Drum halus tersebut kemudian
diputar perlahan dan bubur yang menempel di sekelilingnya dikupas dengan
plat baja anti karat pada sudut 45 derajat dan ditampung pada belt conveyor untuk dibawa ke dalam lorong pengukusan dan dikukus selama 3 menit. Lembaran (sheet)
yang diperoleh dicelup sebentar ke dalam minyak dan dipotong menurut
ukuran yang dikehendaki. Produk ini biasa dijual dalam keadaan segar dan
hanya tahan 1-2 hari penyimpanan (Juliano dan Hicks, 1990).
c. Sohun
Sohun
merupakan jenis mie yang dibuat dari pati murni. Jenis pati yang sering
digunakan dalam produksi sohun adalah pati kacang hijau. Namun
pengadaan pati kacang hijau yang semakin sulit dan mahal, mengakibatkan
pengrajin sohun sering menggunakan pati sagu dan pati ganyong sebagai
bahan baku. Proses pembuatan sohun hampir sama dengan pembuatan bihun,
terutama dalam hal pengepresan adonan. Bedanya, pembuatan sohun
dilakukan dengan membuat slurry pati yang kemudian digelatinisasi
membentuk bubur lem sebelum dipres atau dicetak. Sedangkan
pengeringannya biasanya dilakukan dengan cara dijemur pada rak yang
dioleskan minyak di atas permukaannya (Direktorat Agroindustri BPPT,
1999).
2. Keragaan Teknologi Mie Non-Terigu
Menilik
potensi dan prospek yang dimiliki mie sebagai pangan penting dalam menu
masyarakat Indonesia, berbagai pihak telah dan tengah mencoba untuk
mengembangkan mie, bukan saja sebagai produk yang diharapkan menjadi
jembatan dalam usaha penganeka-ragaman pangan, tetapi juga sebagai
produk yang dapat memberikan tambahan pendapatan melalui pengembangan
bisnis mie. Perhatian seperti ini lebih banyak diberikan pada
pengembangan teknologi mie berbahan baku non-terigu, mengingat bahan
baku non-terigu merupakan produk lokal yang mendapat dorongan lebih kuat
dalam pengembangannya.
Pengembangan
teknologi pengolahan mie berbahan baku non-terigu telah banyak
dilakukan di Indonesia. Suismono (1995) melaporkan keberhasilannya dalam
memproduksi mie basah dengan bahan baku utama tepung ubijalar.
Sementara itu, Munarso (1998) mengembangkan teknologi pengolahan mie
instan dengan bahan baku tepung beras. Kemudian tepung sorgum juga
dicoba sebagai bahan baku mie untuk menggantikan terigu (Munarso dan
Jumali, 2000). Belakangan dilaporkan adanya mie berbahan baku pati sagu
atau tepung ganyong yang cukup popular di wilayah Kabupaten Sukabumi
Jawa Barat dengan sebutan Mie Gleser (Purwani et al., 2003).
Pada
umumnya teknologi pengolahan mie di atas telah dapat dikembangkan meski
dalam skala yang masih kecil. Oleh sebab itu, berbagai teknologi ini
dapat dikembangkan dalam lingkup pemenuhan kebutuhan rumah tangga atau
maksimal pada lingkup pengembangan industri kecil untuk sementara waktu.
Pada pengembangan lebih lanjut, setiap teknologi ini mempunyai peluang
untuk memberikan nilai tambah dan sekaligus memecahkan problem impor
terigu. Berikut ini disampaikan beberapa teknologi pengolahan mie
berbahan baku non-terigu, dengan tinjauan khusus pada kasus teknologi
mie beras instan dan teknologi mie sagu.
a. Teknologi Mie Beras Instan
Berbeda
dengan teknologi pengolahan beras yang lain seperti bihun atau kwe
tiau, teknologi pembuatan mie beras instan mempunyai kekhususan,
terutama menyangkut adanya proses sheeting dan proses
instanisasi. Adanya kekhususan tersebut mengakibatkan diperlukannya
penyesuaian pada sifat bahan maupun proses-proses lainnya. Hoseney
(1994) menunjukkan bahwa pembuatan mie instan melibatkan proses
pembentukan adonan, pencetakan (sheeting dan cutting), pengukusan (steaming), penataan mie, dan instanisasi.
Pembuatan
adonan untuk mie beras dilakukan dengan menambahkan sejumlah air ke
dalam tepung beras dari kelompok beras berkadar amilosa sedang (22-25%),
dan diikuti dengan pengadukan dan peremasan. Fungsi air juga dapat
digantikan dengan larutan Brine, yaitu larutan yang mengandung 5,18%
natrium klorida; 0,26% natrium karbonat, dan 0,26% kalium karbonat (Baik
et al., 1994). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh tingkat porositas
mie yang lebih baik, mengingat garam-garam tersebut merupakan bahan
penunjang bagi terbentuknya porositas, konsistensi, dan elastisitas yang
tinggi (Papotto dan Zorn, 1986)
Untuk
membuat mie beras instan, mula-mula bahan baku (tepung beras) dibiarkan
mencapai kadar air keseimbangan dalam ruang terbuka. Setelah ditimbang
dengan berat tertentu, bahan baku ditambah dengan CMC 3% dan
dihomogenkan. Selanjutnya ke dalam bahan tersebut
ditambahkan larutan Brine sedikit demi sedikit sambil diuleni, sehingga
terbentuk adonan yang kompak, tetapi tidak lengket di tangan maupun
wadah pengadukan. Hasil uji coba menunjukkan bahwa keadaan tersebut
dapat dicapai pada penambahan larutan Brine sekitar 70-90ml. Selanjutnya
untuk mempermudah dalam proses pencetakannya, adonan ini perlu dikukus.
Juliano dan Hicks (1990) menyebutkan bahwa untuk bahan yang tidak
mengandung gluten, seperti tepung beras, perlu adanya
proses gelatinisasi lebih dahulu agar sebagian pati yang tergelatinisasi
tersebut mampu bertindak sebagai zat pengikat.
Benang-benang mie yang diperoleh dari tahap sheeting dan cutting
selanjutnya dikukus kembali sebagai tahap awal proses instantisasi.
Pengukusan mie ini sering disebut sebagai proses pra-tanak (pre-cooking),
mengingat proses ini menghasilkan mie yang masak dan siap dikonsumsi.
Namun demikian untuk menghasilkan mie instan, proses pra-tanak perlu
diikuti dengan proses penataan mie dan proses pengeringan.
Proses
pengeringan dapat dilakukan dengan cara menggoreng atau dengan
penghembusan udara kering, yang masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan. Penggorengan akan menghasilkan mie dengan warna kuning yang
lebih menarik, sementara tekstur mie yang dihasilkan bersifat lebih
rapuh dan kurang lentur. Munarso (1998) melaporkan bahwa proses
pengeringan (air drying) ternyata menghasilkan mie beras instan
dengan tekstur yang lebih tepat. Mengingat tekstur merupakan karakter
yang paling penting dalam mutu dan penerimaan mie (Toyokawa et al.,
1989), maka proses pengeringan sebaiknya dilakukan dengan hembusan udara
panas.
Penggunaan proses pengeringan (air dry)
sebagai proses instanisasi membawa konsekuensi bahwa warna atau
penampakan mie beras yang dihasilkan kurang menarik. Oleh sebab itu,
dalam formulasi mie beras instan diperlukan adanya penambahan zat
pewarna. Tartrazin merupakan zat pewarna pangan yang sejauh ini sering
digunakan dalam produksi mie instan komersial.
Untuk
memperkaya tekstur mie beras instan, dalam proses pembuatan mie ini
dapat ditambahkan bahan pengubah tekstur (Texture Modifier). Pada kasus
penggunaan tepung beras terfosforilasi (TBTF) sebagai texture modifier
ditemukan bahwa sifat kekerasan mie ternyata tidak dipengaruhi oleh
adanya penambahan TBTF. Namun demikian, efek penambahan TBTF tersebut
muncul pada pengukuran persentase perpanjangan mie, yaitu semakin besar
taraf penambahan TBTF semakin besar pula persentase perpanjangan mie.
Gambar 1 menunjukkan pola perubahan persentase perpanjangan dan
kekerasan mie beras IR 64 instan akibat penambahan TBTF pada berbagai
taraf.
Gambar 1. Persentase perpanjangan dan kekerasan mie beras IR64 pada berbagai taraf penambahan TBTF
b. Teknologi Mie Berbahan Sagu
Mie berbahan sagu telah dikenal oleh masyarakat dalam bentuk sohun. Meski
jenisnya antara mie dan sohun berbeda baik ditinjau dari rasa maupun
tekstur maka sohun merupakan bentuk mie berbahan baku dari pati sagu
yang sudah populer. Haryanto dan Royaningsih (2002) melaporkan bahwa
secara umum hasil mutu sohun di pasaran Jawa dan Sumatera yang diamati
menunjukkan hasil yang kurang memadai. Ini diduga sohun
hanya sebagai bentuk produk sampingan dan pasarnya masih pada level
bawah sehingga tingkat kebersihan maupun mutu produk sohun yang
dihasilkan kurang diperhatikan.
Hasil
pengamatan dilapang dan pengujian secara laboratorium penggunaan bahan
baku akan sangat mempengaruhi produk sohun yang dihasilkan. Bila bahan baku sohun yang berasal dari sagu umurnya belum tua penuh maka akan dihasilkan sohun yang kekenyalannya kurang dan sangat rapuh teksturnya. Kondisi ini sebagai akibat sifat fungsional pati sagu yang belum optimal sehingga dihasilkan produk sohun yang kurang baik. Proses
pembuatan sohun pada dasarnya adalah pembuatan adonan antara pati sagu
dan air, kemudian ditambah air panas sehingga terjadi proses gelatinasi. Setelah itu adonan dimasukkan dalam cetakan yang bawahnya berlubang dengan diameter 0,4 cm dalam jumlah 10 –12 lubang. Pada saat ditekan maka wadah yang terbuat dari seng dan dilapisi minyak ada dibawahnya dan bergerak. Dengan demikian terbentuk tal;Itali panjang putih menyerupai tali . Selanjutnya wadah yang tersebut dijemur selama kurang lebih 4 jam
Pengembangan sohun dimasa mendatang dalam upaya mengatasi kerawanan pangan maka sohun dapat menjadi alternatip mengingat sudah banyak dikenal masyarakat. Pembuatan sohun yang dilengkapi berbagai bumbu dan siap saji dapat menjadi alternatip sebagai upaya diversifikasi pangan mie berbahan baku non terigu
Selanjutnya
penelitian Pangloli dan Royaningsih (1987) menunjukkan bahwa substitusi
pati sagu terhadap campuran pembuatan mie berbahan terigu memberi hasil
yang tidak berbeda nyata sampai tingkat subsitusi 20 %, selebihnya
subsitusi pati sagu terhadap mie hasilnya memiliki tekstur yang rapuh. Dalam
perkembangan dalam industri mie berbhan terigu juga diperlukan campuran
pati yang dapat digunakan dari pati sagu maupun dari jagung. Akibat
pertimbangan kontinuitas bahan baku dan kwalitas yang kurang memadai
maka penggunaan pati sagu sebagai bahan subsitusi tidak digunakan.
3. Peluang Penerapan Teknologi Mie
Berbagai
teknologi pengolahan mie berbahan baku non-terigu telah berhasil
dikembangkan meski pada skala kecil . Pada skala laboratorium, seluruh
teknologi yang tersedia tersebut telah mampu menunjukkan keberhasilan
kinerjanya, namun untuk pengembangannya dalam skala yang lebih besar
(seperti skala pilot maupun skala komersial) beberapa teknologi tersebut
masih memerlukan berbagai langkah penyempurnaan.
Untuk
menuju pada tingkat kesiapan yang memadai dalam penerapannya di skala
yang lebih besar, teknologi pengolahan mie berbahan baku non terigu
masih memerlukan pengujian yang terkait dengan proses scaling up.
Teknologi ini juga perlu dilengkapi dengan pengkajian optimalisasi
formula dalam hubungannya dengan teknik penyajian. Selain itu aspek
rekayasa alat produksi juga menjadi titik perhatian penting. Hal ini
mengingat teknologi mie ini memerlukan alat yang spesifik terkait dengan
sifat atau perilaku proses produksinya. Sebagai contoh, mie beras
instan merupakan mie dengan kekuatan tensil yang lebih rendah dibanding
mie instan terigu, dan oleh karenanya diperlukan sistem penarikan benang
mie pasca sheeting dan cutting dengan kecepatan yang lebih rendah.
Studi
tentang preferensi mie berbahan baku non-terigu di tingkat pasar masih
perlu dilakukan. Dari sisi kelayakan pengembangan industri, teknologi
ini juga masih harus dievaluasi. Oleh sebab itu, langkah penting yang
perlu dilakukan dalam rangka persiapan penerapan teknologi ini adalah
adanya penelitian peningkatan skala produksi dan pengembangan
agroindustrinya yang dievaluasi secara komprehensif.
Pendekatan
pengembangan agroindustri pengolahan mie sebenarnya bukan satu-satunya
pendekatan yang bisa ditempuh agar teknologi ini dapat diterapkan.
Formula pembuatan mie non-terigu juga berpeluang dikembangkan menjadi
produk setengah jadi berupa campuran kering (dry mix). Dalam bentuk ini, setiap rumah tangga mendapat kesempatan untuk membuat sendiri produk mie beras. Untuk itu, produk dry mix ini perlu dilengkapi dengan petunjuk pengolahan dan penyajiannya.
4. Penutup
Berdasarkan
uraian diatas menunjukkan, perkembangan pangan berbentuk mie saat ini
di Indonesia telah berkembang, baik menggunakan bahan baku terigu dan
juga bahan baku non terigu. Dalam upaya menghambat laju impor terigu maka pengembangan mie berbahan baku non terigu perlu terus didorong dengan berbagai kelengkapan teknologinya. Meski dalam skala kecil bentuk makanan mie berbahan non terigu sudah banyak dikenal maka keadaan ini dapat terus dikembangkan. Dalam rangka ketahanan pangan maka bentuk mie berbahan non terigu ini menjadi prospek yang sangat potensial.. Kegiatan
ditingkat riset maupun operasionalnya ditingkat komersial perlu
dilanjutkan dan dikembangkan secara terus menerus sehingga pangan
berbentuk mie tersebut lebih memasyarakat terutama bentuk mie berbahan
non terigu.
Daftar Pustaka
1. Badan Standardisasi Nasional. 1994. Standar Nasional Indonesia Mie Instan No. 3551-1994. BSN. Jakarta.
2.
Baik, B.K., Z. Czuchajowska dan Y. Pomeranz. 1994. Role and
contribution of starch and protein content and quality to texture
profile analysis of Oriental noodles. Cereal Chemistry 71 (4): 315-320.
3.
Bean, M.M. dan K.D. Nishita. 1985. Rice flours for baking. In B.O.
Juliano (Ed.). Rice Chemistry and Technology. AACC. St. Paul, MN.
P.539-556.
4. Dataconsult. 1995. Kasus mi segera dan perspektif pangan Indonesia. Harian Republika 29 Januari 1997. Jakarta.
5. Direktorat Agroindustri BPPT. 1999. Laporan Akhir Proyek IPTEKDA. BPP Teknologi. Jakarta.
6.
Haryanto B dan S. Royaningsih .2002. Pengujian Sohun dari berbagai
daerah. Prosiding Seminar Nasional sagu Kendari. Sulawesi Tenggara.
7.
Hoseney, R.C. 1994. Principles of Ceral Science and Technology.
American Assoc. of Cereal Chemists, Inc. St. Paul, MN. 378 pp.
8.
Juliano, B.O. dan P.A. Hicks. 1990. Utilization of rice functional
properties to produce rice food products with modern processing
technologies. International Rice Commission Newsletter. 39: 163-178.
9.
Munarso, S. J. 1998. Modifikasi Sifat Fungsional Tepung Beras dan
Aplikasinya Dalam Pembuatan Mi Beras Instan. Disertasi. Program
Pascasarjana, IPB. Bogor. 146pp.
10.
Munarso, S. J. dan Jumali. 2000. Substitusi tepung sorgum dan
penambahan emulsifier dalam pembuatan mie instan. Prosiding Seminar
Nasional PATPI. Yogyakarta.
11.
Nishita, K.D., R.L. Roberts, dan M.M. Bean. 1976. Development of a
yeast-leavened rice-bread formula. Cereal Chem. 53 (5): 626-635.
12. Pangloli, P., dan S Royaningsih, 1987. Pembuatan mie basah, biscuit marie, dan craker dari terigu dan tepung sagu. Deputi Bidang Pengkajian Ilmu Dasar dan terapan. BPP Teknologi. Jakarta
13.
Papotto, G. dan F. Zorn. 1986. Recent developments of pasta products as
convinience food. In. Ch. Mercier and C. Cantarelli (Eds.). Pasta and
Extrusion Cooked Foods. Elsivier App.Sci. Publisher. London. p. 69-78.
14.
Purwani, E.Y., Y. Setiawaty, H. Setianto, N. Richana, Sunarmani, S. J.
Munarso, D. Amiarsi dan Misgiyarta. 2003. Pengembangan Teknologi Pangan
Tradisional Prospektif Sebagai Alternatif Pangan Pokok. Laporan Akhir
Tahun. Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. Jakarta.
15.
Suismono 1995. Kajian Teknologi Pembuatan Tepung Ubijalar dan
Manfaatnya Untuk Produk Ekstrusi Mie Basah. Tesis. Program Pascasarjana
IPB. Bogor.
16.
Toyokawa, H., G.L. Rubenthaler, J.R. Powers, and E.G. Schanus. 1989.
Japanese noodle quality I. Flour components. Cereal Chem. 66(5):
382-386.
17. World Grain. 2003. World Grain Map. Rabo Bank. Netherlands
18.
Winarno, F. G. 1986. Pemanfaatan dan pengolahan beras non nasi. Makalah
dalam Konsultasi Teknis Pengembangan Industri Pengolahan Beras
Non-Nasi. Departemen Perindustrian dan Pusbangtepa-IPB. Jakarta. p.
39-69.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar