Pembuatan tapai
Dalam pembuatan tapai ketan, beras ketan dimasak dan dikukus terlebih dahulu sebelum dibubuhi ragi[2]. Campuran tersebut dilindungi dari udara terbuka dengan membungkusnya oleh daun dan diinkubasi pada suhu 25-30 °C selama 2-4 hari. Daun yang digunakan bermacam-macam, tergantung dari sumber daya yang tersedia, tetapi biasanya digunakan daun yang lebar dan permukaannya licin. Tapai ketan yang siap dihidangkan biasanya mengandung alkohol dan teksturnya lebih lembut[2]. Daun yang digunakan biasanya adalah daun pisang, namun di beberapa tempat daun lain juga digunakan, misalnya daun jambu (Sizygium) atau karet para (Hevea brasiliensis).Untuk membuat tapai singkong, kulit umbi singkong harus dibuang terlebih dahulu[1]. Umbi yang telah dikupas lalu dicuci, dikukus, dan kemudian ditempatkan pada keranjang bambu yang dilapisi daun pisang[1]. Ragi disebar pada singkong dan lapisan daun pisang yang digunakan sebagai alas dan penutup[1]. Keranjang tersebut kemudian diperam pada suhu 28 – 30 °C selama 2 – 3 hari[1].
Selain rasanya yang manis dan aroma yang memikat, tapai juga dibuat dengan beberapa warna berbeda.[1] Warna tersebut tidak berasal dari pewarna buatan yang berbahaya, melainkan berasal dari pewarna alami.[1] Untuk membuat tapai ketan berwarna merah digunakan angkak, pigmen yang dihasilkan oleh Monascus purpureus, sedangkan tapai ketan warna hijau dibuat menggunakan ekstrak daun pandan. [1]
Pembuatan tapai memerlukan kecermatan dan kebersihan yang tinggi agar singkong atau ketan dapat menjadi lunak karena proses fermentasi yang berlangsung dengan baik[2]. Ragi adalah bibit jamur yang digunakan untuk membuat tapai. Agar pembuatan tape berhasil dengan baik alat-alat dan bahan-bahan yang digunakan harus bersih, terutama dari lemak atau minyak. Alat-alat yang berminyak jika dipakai untuk mengolah bahan tapai bisa menyebabkan kegagalan fermentasi.[2] Air yang digunakan juga harus bersih[1]; menggunakan air hujan bisa mengakibatkan tapai tidak berhasil dibuat.
Pengaruh konsumsi tapai bagi kesehatan
Keunggulan tapai
Fermentasi tapai dapat meningkatkan kandungan Vitamin B1 (tiamina) hingga tiga kali lipat[3]. Vitamin ini diperlukan oleh sistem saraf, sel otot, dan sistem pencernaan agar dapat berfungsi dengan baik. [3] Karena mengandung berbagai macam bakteri “baik” yang aman dikonsumsi, tapai dapat digolongkan sebagai sumber probiotik bagi tubuh.[4] Cairan tapai dan tapai ketan diketahui mengandung bakteri asam laktat sebanyak ± satu juta per mililiter atau gramnya.[4] Produk fermentasi ini diyakini dapat memberikan efek menyehatkan tubuh, terutama sistem pencernaan, karena meningkatkan jumlah bakteri dalam tubuh dan mengurangi jumlah bakteri jahat.[4]Kelebihan lain dari tapai adalah kemampuannya tapai mengikat dan mengeluarkan aflatoksin dari tubuh.[4] Aflaktosin merupakan zat toksik atau racun yang dihasilkan oleh kapang, terutama Aspergillus flavus[4]. Toksik ini banyak kita jumpai dalam kebutuhan pangan sehari-hari, seperti kecap. Konsumsi tapai dalam batas normal diharapkan dapat mereduksi aflatoksin tersebut.[4]
Di beberapa negara tropis yang mengonsumsi singkong sebagai karbohidrat utama, penduduknya rentan menderita anemia[4]. Hal ini dikarenakan singkong mengandung sianida yang bersifat toksik dalam tubuh manusia.[4]. Konsumsi tapai dapat mencegah terjadinya anemia karena mikroorganisme yang berperan dalam fermentasinya mampu menghasilkan vitamin B12[5]
Kelemahan tapai
Konsumsi tapai yang berlebihan dapat menimbulkan infeksi pada darah dan gangguan sistem pencernaan. Selain itu, beberapa jenis bakteri yang digunakan dalam pembuatan tapai berpotensi menyebabkan penyakit pada orang-orang dengan sistem imun yang terlalu lemah seperti anak-anak balita, kaum lanjut usia, atau penderita HIV3. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, konsumsi tapai perlu dilakukan secara terkendali dan pembuatannya serta penyimpanannya pun dilakukan dengan higienis.[2]Istilah tapai di berbagai daerah
Sebagian besar tapai dibuat dari fermentasi beras ketan (Oryza sativa) atau singkong (Manihot esculenta). Masyarakat Jawa Barat lebih mengenal tapai singkong dengan sebutan peuyeum, sedangkan masyarakat Jawa Timur lebih sering menyebutnya tape puhung.[2] Tapai ketan dikenal di kawasan Asia, terutama Asia Tenggara, dengan nama lokal yang berbeda–beda : tapai pulut (Malaysia), basi binubran (Filipina), chao (Kamboja), lao-chao (Tionghoa) atau chiu niang (Cina), dan khao-mak (Thailand).[1]Produk olahan tapai
Selain dapat dikonsumsi secara langsung, tapai dapat dijadikan olahan lain atau dicampur dengan makanan dan minuman lainnya. Tapai pulut menjadi komponen es cendol dan es campur, atau dapat juga diolah kembali menjadi wajik dan dodol. Tapai singkong selain bisa dijadikan campuran es cendol, es campur atau es doger, dapat pula diolah menjadi makanan gorengan rondo royal (tapai goreng) dan colenak. Tape juga nikmat disantap bersama tetel (istilah jawa untuk ulenan ketan putih) atau di Jawa Barat biasa disebut ulen.Referensi
- ^ a b c d e f g h i j k l m (Inggris)Gandjar, I. 2003. Tapai from cassava and cereals. Dalam: First International Symposium and Workshop on Insight into the World of Indigenous Fermented Foods for Technology Development and Food Safety; Bangkok, 13 – 17 Apr 2003. hal. 1-10.
- ^ a b c d e f (Inggris)Djien KS (1972). "Tapai fermentation". Appl Microbiol 23 (5): 976-978.
- ^ a b (Inggris):Cronk TC, Steinkraus KH, Hackler LR, Mattick LR. (1977). "Indonesian tape ketan fermentation". Appl Microbiol 33 (5): 1067-73
- ^ a b c d e f g h (Inggris)Cereda MP, Takahashi M. 1994. Cassava waste : Their Characterization, and Uses, and Treatment in Brazil. Di dalam: Dufour D, O’Brien GM, Best R, editor. International Meeting on Cassava Flour and Starch : Progress in Research and Development; Cali, 11-15 Jan 1994. Cali: Centro Internacional de Agricultura Tropical. hlm 221-232.
- ^ (Inggris)Sahlin P. 1999. Fermentation as a method of food processing. [thesis]. Lund: Department of Applied Nutrition and Food Chemistry, Lund University.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar